Heaven in Your Home

“When home is ruled according to God’s word, angels might be asked to stay with them and they wouldn’t find themself out of the elements.”by Charles Surgeon
Heaven in your home menjadi perikop pada commentary untuk Efesus 5 : 21-33. Pada terjemahan KJV kata-kata yang digunakan adalah sebagai perikop adalah ‘Kasih Kritus Sebagai Dasar Hidup Suami Istri’ sedangkan terjemahan NIV menggunakan ‘Suami dan Istri’ sebagai perikopnya. Perikop ini menggelitikku dan mendrongku untuk menggali lebih jauh pada perikop Alkitab tersebut.
Surga di dalam sebuah rumah yang berisi keluarga secara khusus yaitu hubungan antara suami dan istri. Suatu pertanyaan besar apakah maksudnya surga dalam keluarga? Mungkinkah terjadi sebuah surga di tengah dunia yang tidak sempurna seperti ini? Aku menemukan jawaban yang luar biasa dari pertanyaan – pertanyaan yang baru saja kuajukan. Aku mendapati dalam proses penggalianku bahwa sebenarnya Allah sendiri yang berinisiaif menciptakan sebuah relasi yang dikenal dengan nama keluarga di dunia ini. Tujuannya sangat jelas bahwa dari ketidak sempurnaan 2 manusia yaitu laki-laki dan perempuan dapat kutemukan Dia ingin mehadirkan kesempurnaan, suasana surgawi di tengah dunia. Aku tak ingin membahas lebih jauh mengenai konsep pernikahan pada tulisan ini. Apa yang ingin kupaparkan sekarang adalah bagaimana menghadirkan surga dalam keluarga tersebut.
Sungguh sangat berbeda yang kudapatkan antara pengajaran dunia dan apa yang kugali di Alkitab. Ketika aku bertukar pikiran dengan lingkungan sekitarku rata-rata menganggap dan berpendapat sama bahwa berkeluarga adalah suatu amanah Tuhan. Lingkungan sekitarku mengajarkan bahwa dalam mempersiapkan keluarga dalam hal ini berarti pemilihanku atas suami, adalah dengan melihat kesiapan materi. Siapkah calon suamiku membelikan rumah, memberikan kemapanan hidup. Lalu cerita berlanjut mengenai bagaimana perjalanan karier kami nantinya, sehingga diperlukan seorang suami yang baik yang mendukung karier ataupun bisa dikatakan dukungan atas ambisi hidup kita. Sungguh sangat luar biasa bagaimana Alkitab menjungkir balikkan semua kondisi dan prasyarat diatas. Sangat berbeda dengan pernyataan dunia, Alkitab mengajarkan hanya karakter yang dibentuk oleh kebenaran, telah diubahkan dalam Kristus, Firman Tuhan dan kepenuhan dalam Roh Kudus yang menjadi suatu prasyarat terbangunnya sebuah keluarga yang mengahadirkan Heaven di dalamnya.
Kesadaran akan hal ini membuatku merasa tertempelak betapa memang hanya Tuhan yang dapat menjadi dasar yang kuat dalam suatu relasi. Relasi antar manusia itu sangat lemah, begitu rapuh dan mudah berubah. Bagaimana mungkin materi, latar belakang keluarga bobot bibit bebet menjadi jaminan sebuah kebahagian dan keintiman. Ah mungkin ini terdengar seperti teori, tapi aku ingin menceritakan bagaimana keluarga kami mengalami hal seperti ini.
Jauh sebelum keluargaku mengenal Tuhan, aku mengenal keluargaku sebagai keluarga yang mapan cukup dalam segala hal kecuali satu, yaitu surga. Rumah bukanlah suatu tempat yang nyaman bagiku walaupun segala sesuatu telah disediakan. Aku melihat kedua orang tuaku yang tidak pernah puas dengan harta, sehingga sebagian waktunya adalah habis untuk bekerja. Materi seringkali menjadi pemicu utama pertengkaran, bukan karena ketidak cukupan namun karena salah satu orang tuaku merasa lebih berusaha dari yang lain dalam mencari nafkah. Salah satu merasa lebih berjasa dan yang lain terlihat lemah. Keduanya sangat sibuk sehingga menyerahkan asuhan pada pembantu atau keluarga terdekat. Tidak ada damai sejahtera disana. Mereka jarang ada di saat-saat kami membutuhkan kehadiaran orang tua kami. Aku merasakan itulah neraka, serasa banyak iblis yang menhuni rumah tempat kami tinggal. Semua tersiksa.
Suatu hari dalam kebaikan dan kemurahan Tuhan semata keadaan itu berubah 180 derajat. Tuhan betul – betul mengambil semua yang berharga bagi orang tuaku. Krisis tahun 1998 sangat berdampak besar bagi keluarga. Tanah terjual, emas tergadai, asuransi yang waktu itu dalam mata uang dollar tidak mampu terbayar karena nilai tukarnya yang sangat tinggi. Keluarga kami dalam krisis. Orang tua kami mulai saling menyalahkan, lanjut dengan menyalahkan Tuhan hingga menyalahkan pernikahan mereka sendiri. Mereka pikir mereka telah salah pilih satu dengan yang lain. Sungguh ironis ya kedengarannya setelah memproduksi 4 anak dan merasa telah salah memilih. Puji Tuhan dalam waktuNya dan prosesNya Ia membentuk karakter keluargaku dengan luar biasa. Mereka tergeletak hingga tak berdaya, puncaknya ketika aku mulai memasuki bangku kuliah. Tidak ada dana!
Anehnya dalam krisis inilah Tuhan membuktikan diriNya, pada tiap anggota keluarga. Hingga tahun 2008, kudengarkan papa berdiri di tengah banyak orang mengakui bukan karena dirinya kami dapat menyelesaikan sekolah tapi karena Tuhan. Ketika kedua orang tuaku mulai mengenal Tuhan, mereka belajar melepas. In the past they push them self to progress, but when they know God’s mercy they learn to regress. Papa dan mama akhirnya melepas apa yang pernah menjadi milik mereka, dan seiring itu mereka pun mulai melepas ambisi pribadi hingga ego masing-masing. Ketika mereka belajar melepas, pemulihan terjadi. Mereka belajar untuk puas. Dalam kepuasan itu anehnya Tuhan justru mencukupkan jauh dari apa yang dapat dibayangkan. Kami dalam kelimpahan. Kelimpahan kasih, kelimpahan waktu untuk berbagi bersama dan kecukupan dalam segala hal. Materi bukan yang terutama, namun Firman Tuhan serta karakter yang diubahkan.
Sungguh betapa rapuhnya relasi yang didasari hanya oleh cinta,materi atau cita-cita yang sama tanpa Tuhan di dalamny, ibarat benang yang saling mengaitkan diri sangat mudah untuk putus. Berbeda bila Tuhan yang menjadi kepala dan firmanNya yang menjadi Rule dalam relasi tersebut, maka relasi akan sepeti benang yang tertambat pada sebuah tali tambang yang kuat. Itulah relasi yang dialami keluargaku ketika Firman Tuhan, doa, penyerahan menjadi hal yang kental di dalamnya. Dan perjalanan keluarga kami seperti surga yang indah. Aku yakin ada banyak malaikat berdiam disana, dan Roh KudusNya berdiam di antara kami.
Almarhum papa selalu mengingatkan agar aku menjaga karakterku, agar tetap mengasihi, cinta Tuhan, dan tekun pada FirmanNya. Dalam bekerja pun bukan gaji besar yang menjadi patokan, tetapi bagaimana aku tetap belajar untuk puas dan menjadi berkat untuk sesama. Sangat sulit sebenarnya amanat ini. Namun aku terus berjuang, dan terus belajar bahwa betapa yang terpenting bagiNya adalah karakter dan seberapa besar kasihku padaNya.
Suatu saat aku pun akan membangun sebuah keluarga. Keluarga yang kuharapkan adalah keluarga yang terdapat suasana surga di dalamnya, dimana malaikat-malaikat tinggal bersama, seperti kutipan Chales Spurgeon pada awal tulisan ini. Langkah pertama adalah menemukan seseorang yang memiliki karakter yang diubahkan, yang mencintai firmanNya dan dipenuhi oleh Roh kudus.
Category:

0 comments:

Posting Komentar