Kata Bapak waktu kecil, warna langit itu sesungguhnya bukan
biru namun hitam. Warna biru dihasilkan dari spektrum cahaya yang dipantulkan
matahari. Begitupun dengan warna laut. Spektrum biru yang berbeda adalah
pantulan air yang bening dan cahaya matahari.
Aku bertanya dalam hati, tipuankah warna warna itu atau
memang mata kita saja ingin menangkap warna yang diinginkannya atau tergantung
matahari yang menjadi sumber cahaya.
Sudah puluhan tahun sejak hari itu, pantai dan langit selalu
mengingatkanku dengan Bapak. Di sana ketenangan selalu kudapatkan. Namun hidup
yang kuhidupi di tahun tahun selepas Bapak pergi tidak lagi setenang dulu.
Beberapa waktu yang lama aku memautkan hati dengan seseorang
yang kusangka adalah laut biruku. Laut biru yang memberi ketenangan, dalam dan
tidak pernah menampakkan dirinya yang kuat. Laut biru yang membuatku terbenam
sesaat dalam pesona tenang dan lembutnya.
Tapi mungkin warna birunya adalah ilusi. Warnanya berubah ketika aku
sudah berjanji untuk memautkan diri, warnanya tidak lagi meneduhkan. Sapaan
angin yang dulu lembut dan bunyi ombak yang menduhkan dari dirinya berubah
menjadi kegusaran. Pecah! Laut biruku menjadi hitam, berombak besar dan tega
menghantamku. Kagumku seketika pudar, damaiku seperti terenggut. Laut biru hanya
menjadi bagian dari takutku kini. Tidak ingin kembali ke sana.
Dalam kegusaran, aku memiliki awan yang lembut juga seperti
kapas, membuat teduh dikala panas datang. Senyumannya sangat manis seperti
kembang gula yang gumpalannya pun menyerupai awan, suaranya sangat merdu, tidak
ada bandingnya. Sahabat yang lama kudamba.
Namun, aku ini petir….mungkin aku terlalu sering melukainya. Hingga suatu hari, angin kencang datang, membawa awan pergi. Hilang....
Aku bukan tipe wanita yang mau tinggal dalam kenangan, meski kenangan itu kuat
Seperti Laut biru
Atau Awan
Dan terakhir adalah Bau Hujan
Iya, orang terakhir yang tak pernah kuduga bernama bau
hujan. Pipinya seharum bau hujan yang menyentuh tanah kering.
Keberadaannya pun seperti bau hujan. Bau hujan yang kusangka tanda dari akhir
kemarauku.
Namun ia hadir dalam waktu yang salah, kondisi yang salah,
meski perasaan tak pernah salah. Seorang yang naïf dengan kebaikan hati yang
sangat kupercaya. Entah mengapa aku percaya. Dia seperti pelindung seorang
gadis kecil berumur 8 tahun yang hidup dalam diriku. Dia memiliki senyum
terbodoh, hati terbodoh, dan mimpi terbodoh yang ditawarkannya padaku. Bodoh,
karena kami berusaha percaya meski itu tidak mungkin. Kami seperti anak kecil
yang percaya suat saat kami bisa melompat dan tertawa keras di atas awan,
meluncur di atas pelangi. Sangat naïf dan bodoh bukan. Meski begitu aku sangat bahagia waktu itu.
Dan akhirnya dalam kenaifan, hidup nyata adalah pilihan
mutlak. Seperti bau hujan yang hanya sesaat, ia pergi dengan cepat. Bau hujan
yang dulu datang membawa damai kini hanya menyisakan sakit dan puing.
Tidak pernah sehancur ini.
Suatu saat, Bapak membawaku lagi ke pantai melihat matahari
terbenam, tempat favorit kami. Warna laut waktu itu kekuningan bercampur ungu, merah, dan sangat indah. Warna ilusi yang sekejap membawa rindu bila kumemandangnya lagi. Seperti laut biru yang membawa kenangan tenang dan kehancuran, seperti melihat awan kembali yang membawa senyum dan rasa terbuang, seperti bau hujan yang menyenangkan sekaligus menyakitkan dalam kenaifannya.
Mungkin memang tidak selamanya segala sesuatu itu
dapat dinikmati, tiap hal ada musim dan waktunya.
Petir